Pergi untuk Kembali
Pergi untuk Kembali
Syarifah Rahmah
Matahari telah memanasi bumi dengan sinarnya yang terik. Dari balik jendela kamarku yang menghadap ke taman, kulihat orang-orang mulai memenuhi taman itu dengan aktivitas mereka masing-masing. Seorang pria paruh baya sedang berlari santai dengan wanita di sampingnya, kupikir itu pasti istrinya. Mereka berbincang sambil sesekali tertawa. Aku melihat ke arah yang lain, seorang gadis remaja sedang asik mendengarkan sesuatu dari earphone di telinganya. Mereka terlihat bahagia.
Walaupun sebenarnya aku tidak begitu mengerti tentang arti bahagia itu. Awalnya itu bukan hal penting yang harus aku pikirkan. Kini aku mulai menatap langit biru dengan gumpalan awan putih yang kadang menemaninya. Kuingat kembali apa yang pernah terjadi selama ini. Tidak buruk, tetapi juga bukan hal yang istimewa.
Awal bulan Januari menjadi momen yang cukup indah karena aku akhirnya bisa membuat sedikit hal yang berguna, menjadi sukarelawan di sebuah kampung yang sangat terpelosok, tetapi di sanalah aku berjumpa dengan orang-orang yang luar biasa. Mereka mempunyai semangat tinggi untuk berjuang meraih mimpi-mimpi mereka.
Saat itu, tak banyak yang aku lakukan, hanya sesekali membaca dongeng dari buku-buku yang kubawa. Anak-anak di sana cukup tertarik dengan cerita yang aku bacakan. Aku tersenyum sambil sesekali mendekati salah satu anak dan bertanya, “Kiki kalau sudah besar, mau jadi apa?”
“Jadi astronot,” jawab anak yang tadi kupanggil Kiki itu. Ia mulai menaikkan sebuah batang kayu kecil berbentuk tabung yang selalu ia bawa ke mana pun.
“Wah, keren. Semoga tercapai, ya.” Aku mulai bertanya dengan murid yang lain. Semua terlihat antusias menjawab pertanyaanku. Sebenarnya, aku tidak terlalu pandai berbaur dengan orang lain, apalagi anak-anak, tetapi aku mencoba lagi. Sekali lagi mencobanya.
Sepinya malam yang menemaniku kala itu, tidak dapat membuatku merasa baik-baik saja. Kupandang bulan yang hanya setengah bagian saja.
“Zoya, kamu belum tidur?” tanya seseorang, lalu ia duduk di sampingku.
“Belum bisa tidur,” jawabku, lalu meminum kopi hitam yang sudah mendingin karena terlalu lama menemaniku di luar,
“Insomnia?”
“Enggak.”
“Kamu ... Mm, gak jadi.”
“....”
Hening sejenak, tidak ada lagi obrolan di antara kami. Aku menoleh ke arahnya sebentar, lalu kembali menatap langit hitam. “Kenapa?”
“Eh, nggak apa-apa sih. Mm, kamu mau nggak jadi istriku?” tanyanya sedikit canggung.
Aku tidak menjawab pertanyaan laki-laki di sampingku itu. aku malah balik bertanya, “Yang ke berapa?”
“Hah?”
“Sepertinya nggak perlu aku jelasin, kamu pasti paham.”
“Tapi, aku beneran serius sama kamu. Walaupun, belum bisa dalam waktu dekat ini, tetapi kamu bisa beri aku waktu satu tahun untuk menyelesaikan S2-ku. Nanti aku akan datang ke rumahmu.” Kini ia mulai terlihat serius. Entah detik ke berapa, ia sudah pindah ke depanku sembari menatapku dengan penuh harapan.
“Sudahlah.” Aku beranjak, lalu berjalan membelakanginya.
“Kamu mau ke mana?” tanyanya dengan wajah kecewa.
“Mau tidur, sebelum aku benar-benar bermimpi.”
***
Paginya aku dikejutkan dengan lelaki tadi malam yang kini berdiri di depan pintu. “Selamat pagi, Calon Istri.”
Aku benar-benar dibuat malu oleh dia.
“Wah, Ka Evan, beneran mau nikah sama Zoya?” tanya Vina yang muncul dari sampingku.
“Kalau aku sih, mau. Nggak tau Zoya,” jawabnya sambil menampilkan senyum dengan lesung di pipi kanannya.
“Selamat, ya, untuk kalian berdua. Semoga acaranya nanti lancar,” ujar Vina.
“Kalau kenapa sih, ngehalu pagi-pagi,” kataku, lalu masuk kembali ke dalam rumah untuk mengambil tas dan beberapa buku dongeng.
***
Acara penutupan sudah selesai beberapa menit yang lalu. Aku dan beberapa sukarelawan mulai berkemas. Bersiap untuk pulang.
“Kamu nggak mau nomorku? Kita bakal lama loh, LDR.” Kata seseorang yang selama di sini sangat mengganggu ketenanganku.
“Nggak butuh.”
“Yakin?”
“Kamu bodoh atau gimana sih? Perempuan mana pun kalau dikasih janji pasti berharap. Aku benci diberi harapan. Kamu harusnya paham itu.” Aku sedikit meninggikan nada bicaraku. Aku sudah muak dengan tingkahnya belakangan ini. Sebelum benar-benar pergi, memang lebih baik selesai di sini. Walaupun, dengan cara yang mungkin menyayat hati.
“Maaf, mungkin tingkahku selama ini sudah membuatmu nggak nyaman. Jujur, ini pertama kalinya aku benar-benar merasakan jatuh cinta. Tapi, lupakan saja. Mungkin aku memang bodoh. Terima kasih sudah berkata jujur,” ujar Evan.
Aku benci situasi ini. Apa aku yang salah? batinku. Kulihat ia mulai menjauh. Tak lagi menggangu aku.
***
Tiga bulan setelahnya, bulan Maret. Bulan yang berat. Semua orang harus dikarantina dalam rumah untuk beberapa hari. Aku tidak begitu masalah dengan itu. selain mengerjakan beberapa proyek kantor dari rumah, aku mulai melakukan hal-hal yang cukup menyenangkan, membaca buku, menonton film, mencoba resep masakan baru dan berkebun. Walaupun, ternyata membosankkan juga melakukan hal yang sama dalam bebarapa bulan.
Aku pun mulai mencoba hal lain. Jari-jariku mulai menari di atas keyboard. Tampilan layar di depanku menampilkan deretan huruf. Sesekali aku mengekspresikan apa yang aku tulis.
Tidak disangka, sekarang sudah masuk tahun 2021, aku masih dengan aktivitas yang sama, di depan laptop sambil mengetik sesuatu untuk mengisi waktu luang atau membaca buku sambil merebahkan tubuh di kasur.
Dreet, dreet.
Nada notifikasi pesan ponselku berbunyi. Padahal aku tidak menghidupkan data internet. Aku beranjak dari kasur, ingin melihat ponsel yang sengaja kuletakkan di meja. Saat aku melihat layar ponsel. SMS dari seseorang, kupikir itu hanya orang iseng atau orang yang menawarkan peminjaman uang saja, tetapi jika melihat dari kalimat yang dikirim, sepertinya ini penting.
+62 822******
Hai, Zoya.
Maaf, ya, aku masih lancang menghubungi kamu. Ini mungkin agak sedikit mendadak sih. Tapi besok pagi aku akan datang ke rumahmu.
Dari orang bodoh karena jatuh cinta.
Zoya sedikit mengerutkan dahinya. Orang itu bukan bodoh lagi, tetapi gila. Paling juga cuma bercanda. Akhirnya, aku tidak menggubris pesan itu dan kembali menulis cerita.
Tok, tok, tok.
Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarku. “Zoya, kamu nggak makan?” tanya wanita paruh baya yang kini ada di sampingnya. “Masih kenyang, Bu,” jawabku sambil melihat ke arah Mama.
“Makan apa sih, kamu? Makan lihat belum ada makan apa-apa kamu mulai kemarin.”
“Hehe, nanti Zoya makan,” jawabku cengengesan.
“Oiya, besok teman lama Ibu, Bu Kania mau bertamu ke rumah kita.”
“Oke, mau pesan makanan apa? Tanyaku pada Ibu yang sedang duduk di pinggir kasur.
“Maunya sih masak sendiri. Zoya nggak sibuk kan?”
“Enggak terlalu sibuk sih. Kita mau masak apa?” Aku sudah mematikan laptop dan duduk bersama Ibu.
“Bahannya udah Ibu beli tadi. Tinggal dimasak aja.”
“Oke, siap, Bos.” Aku merapatkan tangan dan meletakkannya di dahi seperti sedang hormat.
***
“Assalamu’alaikum,” salam beberapa orang dari luar rumah.
Bapakku langsung berjalan ke arah pintu, membukanya, lalu mempersilahkan beberapa orang itu untuk masuk dan duduk di ambal berwarna coklat.
“Banyak banget makanannya, Bu. Sudah kayak hajatan aja ini.” Aku memandang deretan makanan di atas meja. “Siapa yang mau hajatan masa pandemi kayak gini?”
“Aduh, anak gadis Ibu kok masih kayak gembel. Cepat siap-siap sana!” titah Ibuku sambil mendorong aku kembali ke kamar. Aku juga sedikit heran, Ibuku tumben sekali pagi-pagi sudah berpakaian rapi.
“Zoya kan, di dapur juga. Ngapain pake baju bagus.”
“Ish, cepat ganti! Nanti kamu duduk di samping Bapakmu, ya.”
Mau tidak mau aku harus mengganti baju. Gamis berwarna biru yang Ibu belikan sudah aku kenakan. Aku tidak banyak berdandan. Setelah memakai sedikit bedak dan pelembab bibir, aku mulai mengenakan jilbab berwarna senada. Aku melihat penampakanku di dalam kaca. “Ah, mantap.” Maaf, korban nonton Tik-Tok selama pandemi.
“Sudah selesai dandannya, Nak?” tanya Ibu.
“Sudah, Bu.” Aku mulai ke luar kamar.
“Astagfirullah, kenapa bajunya nggak disetrika dulu tadi, kusut banget ini.”
“Nggak apa-apa, Bu. Anggap aja ini model bajunya,” kataku sambil menyengir.
“Aduh, dasar Zoya. Ayo sudah kita ke ruang tamu!”
Aku berjalan di samping Ibu. Saat tiba di ruang tamu, kulihat beberapa orang sudah duduk di sana, termasuk dia. Oke, aku mulai paham apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tamat
Komentar
Posting Komentar