Singkat
Malam ini aku rindu.
Padahal baru beberapa jam lalu kita saling melempar kata yang punya makna. Apa kamu ga berharapnya juga?
Kini, gadis itu hanya membocorkan langit-langit kamarnya. Mengenang kembali kejadian masa lalu yang mempertemukannya dengan orang yang saat ini saya rindukan. Pertemuan yang mungkin terdengar sedikit konyol. Bagaimana, tidak. Di tempat yang jarang sekali orang berpikir akan ke sana. Tapi, di sanalah mereka bertemu. Di atap rumah Pak Alang. , atap itu menjadi saksi pertemuan mereka tujuh tahun lalu. Gadis itu terseyum, mengingat kejadian itu.
Kamu sedang apa ya?
Masih suka menghitung kerlip bintang?
Menghitung Kerlip Bintang? tak masuk akal. Tapi, entahlah, mungkin ada makna lain dibaliknya. Yang hanya diketahui oleh laki-laki berwajah baby face itu.
Satu hal juga yang masih tidak bisa ditangkap oleh pikiran gadis yang mengenakan piyama berwarna pink. Mengapa laki-laki itu, selalu membawakan mainan robot Buzz?
"Aku ingin seperti Buzz, 'Menuju tak terbatas ... dan melampauinya!' dan bisa keluar angkasa bertemu bintang-bintang," kata laki-laki berusia sebelas tahun itu.
Gadis itu kembali tersadar dari lamunannya. Ia tak bisa terus seperti ini. Memikirkan orang yang belum tentu membayangkannya adalah hal yang melelahkan. Hatinya semakin dirundu gelisah. Apa ga bisa kami sama-sama lagi?
Tadi sore, senja tak terlihat. Apa karena itu, orang yang sudah berhasil merebut kumbangnya itu menghilang. Apa karena dia sudah mulai bosan mendengar kata-kata absurd yang gadis itu suka. Padahal yang lebih tak jelas makna katanya.
"Kamu pernah lihat lidah kumbang?"
"Ga pernah. Emangnya kumbang juga makan lolipop?"
"Lupakan saja."
"Hah, kenapa?" gadis itu hanya mengernyit heran.
Lagi-lagi ia teringat kenangan beberapa jam yang lalu. Sebelum laki-laki itu benar-benar menghilang. Ah, sudahlah. Mungkin dia sedang butuh ruang untuk sendiri.
Sekarang Sika tak lagi menatap langit-langit kamarnya. Ibu jarinya mulai bernari-nari di atas layar pipih. Berusaha melupakan. Tidak, tidak. Bukan melupakan, lebih tepatnya merelakan bagaimana semesta mengatur rindunya. Apa akan ada temu? Atau tetap menjadi rindu yang akan selalu begitu.
Sika masih saja bermain dengan benda pipih itu seolah telah lupa, kalau tadi ia sempat merindukan seseorang. Benda pipih ini memang paling ampuh untuk sejenak menjadi pelarian.
"Ka, jangan di kamar terus. Siapin makanan!"
Wanita yang hampir berkepala lima itu mampir di kamarnya. Tak ada keriput diwajah wanita itu, terlihat seperti gadis yang masih berusia 20 tahun. Saat Sika dan mamanya berjalan beriringan di Mall. Mereka sering disangka kakak beradik.
Nasy hanya menggeleng kepala tiga kali melihat anak gadisnya yang tak keluar kamar hingga berjam-jam. Kadang juga seharian. Entah apa yang dia lakukan di dalam kamar. Bersemedi. Atau menulis puisi yang setiap baitnya diperuntukkan untuk dia yang selalu menjadi tujuan rindu berlabuh.
"Iya, mamaku cantik," jawab Sika sambil menampilkan deretan giginya. Kemudian beranjak dari kasur yang sudah seperti menyatu dengan tubuhnya.
Nanti kita bersama lagi, ya. Mungkin itu yang ada dipikiran gadis itu saat meninggalkan kamarnya.
***
Tentang rindu tadi. Tak usah lama-lama. Toh, jika semesta sudah mengambil alih. Kita hanya menunggu kejutan selanjutnya.
Itulah semesta.
Suka sekali memberi kejutan.
Salam rindu,
Sika Naira
Komentar
Posting Komentar