Kenapa Rindu?

Aku benci harus berkata ini. Tapi, aku rindu. 
Ah, aku benar-benar rindu. Entahlah, kenapa? 

Rindu sikap konyolmu.
Rindu senyummu yang kuharap jangan kamu beri pada selain aku.
Rindu suara tawamu yang nular itu. 
Rindu lawakan receh, tapi anehnya selalu bisa buat aku tertawa. 

Sekelebat bayanganmu mulai nampak jelas di dalam kepalaku. Kejadian setahun yang lalu, teringat kembali. Di sebuah toko roti kecil, yang menurutku lebih pantas disebut istana roti dan kue. Beragam jenis ada di sana. Enggak heran, ruko itu selalu disesaki pengunjung. 

Tapi, hari itu terasa sepi. Semesta seakan menghentikan detiknya. Di saat manik mata kita bertemu. Entah perasaan apa ini? Seperti terdapat kumbang yang berkeliaran perutku. Menggelikan, tapi aku menikmati momen itu.

"Kamu baik-baik aja, Dek?" Sebuah tangan melambai di hadapan wajahku. Membuat aku tersadar dari sebuah fantasi aneh. Kini Laki-laki berpakaian serba kuning dengan celemek dan topi putih khas koki, tersenyum padaku. Manis sekali. 

"Ti... Tidak... Tidak apa-apa, Kak," jawabku. Entah kenapa, tiba-tiba jadi salah tingkah. 
"Totalnya delapan puluh sembilan ribu lima ratus rupiah. Apa ada tambahan lagi, Dek?" Ah, aku baru sadar, aku sedang berada di depan meja kasir. Aku mengambil dua lembar uang berwarna biru dari brangkas rahasia. Setelah menerima kembaliannya dan kue yang baru saja aku beli. Pulang adalah tujuan selanjutnya. 

Tapi, ada yang aneh dengan kakiku. Ia seolah telah merekat di lantai. Bagaimana cara aku pergi? 

"Ada yang bisa kakak bantu, Dek?" tanyanya kembali. 
Apa yang harus aku katakan. Apa aku jujur saja. Nggak, nggak. Nggak boleh. Aku masih di sana sambil menatap kedua kaki yang masih nggak mau beranjak. Kemudian, menatapnya. 
"Saya terjebak," akhirnya aku berkata jujur.

Jangan tanya tentang pengunjung lain. Sejak lima belas menit yang lalu mereka sudah berkoar-koar meminta hak mereka. Tapi, seolah nggak pernah masuk ke dalam telingaku. Aku masih saja tetap di posisi semula. Hingga satu tangan menarik paksa aku pergi dari sana. 

"Hai, masih terjebak?" tanya orang itu, yang sudah melepas genggamannya dari lenganku. 
"Loh, kakak nggak kerja?" tanyaku heran.
"Kebetulan, shif kakak sudah habis."
"Temanin kakak sebentar, yuk!"

Sepertinya tak ada opsi penolakan. Dia langsung menarik kembali lenganku. 

"Kemana, Kak?"
Nggak ada jawaban. Dia masih menarikku ke dalam dunianya. Tersadar karena ini sudah terlalu jauh. Aku melepas paksa genggamannya.

"Jika nggak jelas tujuannya kemana. Jangan bawa aku terus larut dalam cerita kakak. Kumohon!"

Dia terdiam. Bibirnya ingin mengatakan sesuatu, tapi urung. Karena tidak ada respon apa-apa. Aku memilih pergi meninggalkannya. Sebelum aku yang ditinggalkan. 

"Tunggu!" Suara yang terdengar samar-samar itu menghentikan langkahku. Aku kembali menghadap ke arahnya. Berharap ia akan mengatakan sesuatu. 

Kemana dia? Hilang. Mataku mengamati segala penjuru taman itu, tapi sosoknya tidak terlihat kembali. Hanya selembar daun biru yang tergeletak di tempat ia tadi berdiri. Aku mengambilnya. Samar-samar sebuah tulisan muncul di lembaran daun itu.

"Walaupun semesta tidak menyatukan kita saat ini. Kuharap di masa depan kita akan bertemu lagi. Selamat tinggal, Sya. Semoga kamu menemukan dia yang bisa bersamamu, tanpa harus terhalang mesin waktu."

Cairan bening mulai mengalir di pipiku. Tetesannya mengenai lembaran daun itu. Tulisan tadi hilang, berganti dengan tulisan baru. 

"Jangan menangis, Sya! Maaf, jika aku membawamu terlalu jauh. Kita memang nggak akan bisa bersama. Karena dunia dan waktu kita berbeda. Sangat berbeda."

Lima hari, hanya lima hari. Kamu membuat kenangan yang bahkan lima abad pun nggak akan cukup untuk menghilangkannya dari pikiranku. Dengan akhir, yang membuat rintik di wajahku setiap mengingatnya. Kamu memilih pergi. Tapi, kuharap kamu akan kembali dan berkata, "Ceri itu pemanis tampilan kue."

Komentar

Postingan Populer