Kala Itu
Di dalam sebuah ruangan dengan dinding biru muda yang mulai terlihat mengelupas di beberapa bagiannya. Aku di sana, menarik salah satu kursi. Meletakkannya di hadapanku, setelah itu aku bersandar di dinding yang berdekatan dengan meja kayu berwarna kuning keemasan. Ada beberapa lecet di meja itu, mungkin akibat sering menjadi korban tendangan maut dari salah satu penghuni ruangan ini. Atau mungkin sengaja dilecetkan dengan salah satu sisi penggaris besi.
Lupakan tentang meja itu. Aku kini meletakkan sebuah leptop di atas kursi yang berada di hadapanku itu. Aku mulai menekan tombol "ON". Layarnya berubah warna menjadi biru langit. Aku mencari film yang ingin aku tonton. Hanya butuh waktu beberapa detik, akhirnya aku dapat menemukan film yang sudah aku download beberapa hari yang lalu. Lantas, aku langsung menontonnya dengan hikmat. Temanku yang sedari tadi berada di sebelah kiriku pun ikut menikmati film yang kami tonton.
Sebelum cerita ini semakin panjang. Mungkin kamu akan bertanya atau mungkin tidak tentang siapa aku? Panggil aja aku Sya. Seorang gadis yang mengenakan seragam putih abu-abu.
Lima menit berlalu, tiba-tiba seorang lelaki menghampiri kami. Ia langsung duduk tepat di samping kananku tanpa kalimat basa-basi seperti "Apakah aku boleh gabung?" atau "Apakah aku boleh duduk di sampingmu?". Jarak kami hanya satu jengkal. Aku menatapnya heran, makhluk seperti apa dia ini. Apa sejenis rubah? Atau apalah. Dia menoleh ke arahku. Menatapku dengan kedua iris coklatnya. Aku bisa melihat pantulan wajahku di sana, kemudian lelaki itu tersenyum. Buru-buru aku mengalihkan pandanganku kembali ke layar leptop.
"Film apa ini?" tanyanya. Entah lelaki itu bertanya pada siapa? tapi karena aku yang memiliki leptop itu. Mungkin ia bertanya padaku.
"Film The Theory of Everything, cerita tentang seorang fisikawan bernama Stephen Hawking." jawabku, tak ada respon hingga beberapa detik. Mungkin ia sedang berusaha mencerna kalimatku atau mungkin sedang memikirkan pertanyaan baru.
"Apa tidak ada film yang berwarna?" tanya lelaki itu lagi. Film itu memang kurang berwarna, bahkan bisa dibilang hampir sebagian tampilannya selalu hitam putih. Aku tak menjawab pertanyaannya.
Kemudian ia pergi dan menghampiri temannya yang sedang bermain futsal, mungkin karena menurutnya selera filmku membosankan. Atau mungkin ia tiba-tiba ingin berolahraga. Atau kemungkinan lainnya karena tindakanku tadi yang tiba-tiba menutup layar leptop dengan ke dua telapak tanganku.
"Jangan ditonton, kalau nggak suka," kataku pada lelaki itu. Mungkin ia marah karena itu. Tapi, aku juga tidak salah. Aku tidak memaksa dia tetap di sampingku untuk menonton film yang tidak ia sukai.
Komentar
Posting Komentar