Kebijaksanaan

"Apa itu pemimpin?" tanya seseorang, matanya menatap satu persatu peserta di sana. Tidak ada yang berani bergeming. Semua mengunci rapat mulutnya, hingga dengan polosnya seorang gadis berkata, "Pemimpin adalah orang yang mampu mempengaruhi orang lain." 

"Siapa tadi, yang menjawab?" wanita itu melirik ke arah gadis dengan jilbab coklat itu.

"Kamu, yang pake jilbab pink?" Aku terkejut saat telunjuk wanita itu mengarah ke arahku. Aku tak langsung bangkit. Takut aku hanya kege-eran saja. Jadi, terlebih dahulu, aku menoleh ke arah kiri dan kananku. Perasaan aku menggunakan jilbab coklat, tapi dari semua peserta tidak ada yang mengenakan jilbab pink. Lantas aku bangkit dari tempat dudukku dan berjalan ke arah wanita itu, setelah untuk kedua kalinya wanita itu meminta aku duduk dihadapannya. Aku tidak bisa menyembunyikan rasa gugupku. Apa yang akan dilakukan wanita itu? Aku mulai berpikir macam-macam. Apa aku akan dihukum karena asal menjawab? Sepertinya, tidak. Katanya, wanita yang sekarang ada di hadapanku itu sangat memegang teguh prinsip "memanusiakan manusia, jadi tidak mungkin ia menghukum seseorang  hanya karena opini yang mungkin berbeda.

"Apa itu pemimpin?" Wanita yang baru kutau bernama Dena itu mengulang pertanyaannya tadi.
Aku terdiam beberapa detik, seketika aku mendadak amnesia akibat ditanya tiba-tiba. Walau sebenarnya pertanyaannya sama dengan yang sebelumnya. Aku menghidupkan layar ponsel. Membaca artikel yang barusan tak sengaja aku baca. Kemudian, aku jawab dengan kata-kata yang sama persis dengan pendapat aku sebelumnya.

"Silahkan kembali!" perintah Dena padaku. Aku hanya mengangguk, lalu bangkit dan kembali ke tempat dudukku semula.

Dena mulai menjelaskan apa itu pemimpin dan syukurnya jawabanku tidak meleset. Hampir sama dengan penjelasan Dena. 

***

Apa perlu aku memperkenalkan diri? Ah, rasanya malas sekali. Panggil aja aku Sya. Jangan tanya nama panjang, ya! 

Aku berdecak kesal menatap ponselku yang sejak tadi tidak berhenti berbunyi. Ini pasti ada grup WhatsApp yang belum aku matikan notifikasinya selama setahun. Aku terpaksa harus membuka ponsel itu, tadinya aku ingin fokus membaca novel "Negeri di Ujung Tanduk" karya Tere Liye. Tapi, fokusku gagal, setelah mendapati ponselku yang entah sejak kapan datanya lupa aku matikan.

Aku penasaran dengan isi percakapan di grup yang sudah melebihi seratus chat itu. Perlahan aku mulai men-scroll chat itu, hingga satu pesan yang membuat aku terdiam untuk beberapa detik. Chat dari Kak Dena. Ah, ya, aku lupa ia adalah kakak tingkatku di kampus, jadi sewajarnya aku memanggil ia dengan awalan kata "kak". 

Kak Dena mengirim sebuah gambar yang terlihat blur, lantaran belum diunduh. WhatsAppku udah kuatur sehingga tidak semua gambar yang masuk ke dalam chatku bisa langsung tersimpan. Aku mengunduh gambar itu. Kemudian gambar itu mulai terlihat jelas menampilkan deretan buku dan satu buku karya Tan Malaka yang sengaja dipegang oleh kak Dena. Aku membaca chat setelahnya. 

"Buku ini recomended banget, agar paham bagaimana cara memanusiakan manusia." 

Aku terkagum melihat buku itu. Biasanya aku hanya membaca buku novel ringan atau bahkan komik. Jarang sekali membaca buku berat yang isinya seringkali membuat kepala pusing. Aku mulai mengetik sesuatu di kolom "ketik pesan".

"Kak Dena, boleh pinjam bukunya, kah? hehe."

"Boleh dong, tapi kamu harus belajar filsafat dulu baru mudah paham pas baca buku itu."

Aku bertanya-tanya, apa hubungannya filsafat dengan buku Tan Malaka. Kenapa harus belajar filsafat dulu? Hal itu aku tanyakan pada Kak Dena. Jawabannya membuatku semakin bingung.

"Karena filsafat mengajarkan kebijaksanaan."

***

Rak-rak buku memenuhi ruangan. Untuk pertama kalinya aku mengunjungin ruangan ini. Sebelum aku masuk ke dalam, di depan pintu masuk terdapat ukiran huruf kapital yang jika digabungkan membentuk tiga suku kata, PERPUSTAKAAN UIN ANTASARI. Tempat yang menyenangkan untuk tidur. Haha. Tidak, tidak. Seperti kebanyakan orang saat ke perpustakaan, aku ke sana karena ada buku yang ingin aku cari.

Aku memandang sekitarku. Berjalan ke sana kemari mencari letak rak buku yang kuinginkan. Setelah lima belas menit tawaf (keliling) mengitari setiap rak yang ada di perpustakaan itu. Akhirnya, aku menemukannya. Deretan buku-buku filsafat. Sebenarnya ada analog untuk mencari daftar buku. Tapi, karena aku belum ngerti cara pakenya, jadi aku memutuskan untuk mencari manual. Walau harus olahraga di dalam perpus, setidaknya buku yang aku cari bisa aku dapatkan.

Ujung jari telunjukku mulai menarik-narik bagian atas buku yang judulnya terlihat menarik. Aku membaca bagian belakang buku yang baru saja aku ambil dari raknya. 

"Wah, ini bagus!" gumamku, setelah selesai membaca sinopsis atau apalah namanya, tulisan yang terletak di belakang buku.

Aku mengedarkan pandangan, siapa tau ada kursi yang masih kosong. Hingga mataku kini tertuju pada satu kursi yang menghadap dengan jendela. Ah, itu dia. Aku mulai melangkahkan kakiku ke sana. 

Hujan yang tiba-tiba turun, membuat udara di sekitarku menjadi dingin. Kaca jendela di hadapanku pun mulai berembun. Buku yang kuletakkan di meja belum selesai kubaca, baru saja sampai halaman sepuluh, tapi aku sudah mulai mengantuk. Sesekali aku terpejam, kemudian tersadar kembali. Dan entah berapa kali aku menutup mulut karena tiba-tiba menguap. 

Kalau saja tidak ada peraturan yang sengaja ditempel tepat di dinding sebelah kananku, "jangan tidur di perpustakaan", mungkin sedari tadi aku sudah terlelap dalam mimpi-mimpiku.

Aku tak sanggup lagi membaca buku itu, aku hanya menatapnya. Kemudian memilih tenggelam bersama lamunanku. 

Kalau mendengar kata filsafat, pasti bawaannya pusing aja. Karena diksinya yang sering kali membingungkan untuk orang awam. Tapi, menurutku ada hal menarik dari filsafat. Filsafat itu melatih kita untuk berpikir kritis. Dan itu sangat dibutuhkan dalam kehidupan kita.

Satu hal lagi, menurutku filsafat sama seperti matematika. Dulu, aku sangat suka matematika, bermain dengan angka dan melaAnehlajaran yang dibenci banyak orang. Hanya segelintir orang saja yang suka dengan matematika. Kalau sekarang, aku juga mulai suka sama filsafat. Walaupun banyak juga orang yang berpikir negatif tentang filsafat. Takut jadi atheis, katanya. Kalau aku, sih, selama ini biasa aja sama filsafat.

Kalau soal atheis, bahkan sebelum aku tau filsafat, aku sudah sering nonton film tentang atheis. Salah satu film yang paling aku ingat yaitu "The Theory of Everything" yang bercerita tentang kisah cinta Stephen Hawking. Tapi, tetap saja pembahasan tentang beberapa teori fisika masih sangat kental. Salah satu teorinya yang paling terkenal adalah Black Hole

Hal yang aku suka dari beliau adalah, semangatnya. Walau dengan kelumpuhan yang di deritanya, tidak menghalangi ia untuk melakukan penelitian. Dan di akhir hayatnya pun, ia sempat menulis beberapa buku. Dalam konteks ilmuwan, dia sangat hebat.

Aku tersentak dari lamunanku, saat tiba-tiba saja seseorang menghampiriku. "Perpustakaannya mau tutup, Dik," ujar wanita yang kuyakini sebagai salah satu pegawai perpustakaan. Aku bangkit dari tempat dudukku dan mengucapkan terima kasih pada orang tersebut sebelum ia pergi ke ruangan khusus pegawai perpustakaan. Benarkan.

Ah, aku tak sadar kalau sudah sore, setelah melihat jam dinding yang jarum pendeknya tepat ke angka enam. Aku memeluk buku yang belum selesai aku baca. Berniat ingin meminjamnya dan membacanya lagi setelah tiba  di kost. 

Aku melirik ke arah jendela. Syukurlah, hujan telah berhenti. Aku yang lupa membawa payung akan sedikit kewalahan kalau harus pulang dengan basah kuyup. Ditambah lagi beberapa buku pinjaman di dalam ranselku yang tidak boleh sampai terkena air. Aku tidak ingin mendapat denda hanya karena merusak buku tanpa sengaja.

----










Komentar

Postingan Populer