Di Balik Tembok

Di balik sebuah tembok besar, aku berdiam di sana. Melakukan apapun yang aku suka. Melakukan apapun yang bisa kulakukan. 


Tuk... Tuk... Tuk....


Aku menempelkan daun telinga ke tembok. Suara itu sudah hilang. Aku teringat sesuatu tentang kaca yang cukup tebal, namun dapat digunakan untuk melihat kondisi di luar tembok. Aku mulai mencarinya.


Terlihat cahaya dari balik sebuah kain berwarna coklat tua. Aku lantas bergegas menyibak kain itu dan cahaya terang mulai menerobos masuk ke dalam tembok. Hingga cahaya itu kembali normal. Aku sudah menemukan apa yang kucari.


Wajahku sudah berada di hadapan kaca itu. Kaca itu tidak begitu besar, hanya seukuran buku. Nampak seseorang dengan bola pimpong bercahaya di tangan kirinya. Ia mengangkat tangan kanan dan mulai melambai ke arah kaca. Aku terkejut, dengan cepat mengambil kain dan menutup kembali kaca itu.


Ketakutan itu muncul lagi. Aku mulai tak bisa mengontrol kecemasanku dan berpikir akan terjadi apa setelah ini. Setelah cukup tenang, aku mencoba mengintip sedikit dari sela kain. Orang itu masih di sana.


Terdengar suara samar-samar. "Hai, kau tak suka manusia?" Aku menutup telinga. Jangan dijawab, biarkan saja.


Suara berikutnya muncul lagi. "Di luar banyak manusia baik. Kau tak ingin bertemu cahaya?" 


Aku menurunkan tangan yang tadi berusaha menghalau suara itu masuk ke telinga. Aku bersender ke tembok, lalu menatap ke arah dalam. Di sana gelap, sangat gelap. Apa aku harusnya bertemu cahaya?


Aku beranjak, melempar sembarangan kain yang menutupi kaca. "Kamu mau apa?"


Orang itu hanya tersenyum. Kemudian berjalan mendekati kaca. Sedangkan aku masih terpaku diam memikirkan apa yang ingin ia lakukan. 


"Apa kamu tidak ingin keluar sebentar?" tanyanya.


Aku menggelang. "Katakan dulu apa yang kamu mau!"


"Aku hanya ingin kamu bisa bertemu cahaya."


"Aku sudah cukup melihatnya dari sini. Yang di tanganmu?"


Dia mendekati bola itu ke arah kaca. "Ini hanya seperti senter. Bukan cahaya abadi."


Aku sedikit menyipitkan mata karena cahaya itu cukup mengganggu penglihatanku.


"Eh, maaf." Ia menjauhkan kembali bola itu. "Kaku banget, ya. Mau jadi temanku?"


Aku melihat matanya, tidak ada kebohongan di sana. Aku tersenyum dan mengangguk. Sisi kiri tembok itu mulai roboh dengan sendirinya. 


"Wow, bisa gitu, ya. Keren." Entah itu sebuah pujian atau pernyataan bahwa aku orang yang aneh. Tapi aku mencoba mengabaikan penyataan kedua.


Dia baik, keesokan harinya, ia datang kembali sambil membawa dua bola bercahaya. Ia juga bercerita tentang kondisi di luar sana dan menanyakan bagaimana dengan kondisiku.


"Aku selalu harus baik-baik saja," jawabku.


"Terkadang kita harus bersama cahaya, bukan karena takut gelap. Cahaya itu mampu menuntun kita. Karena kita akan lebih mudah melalui  jalan dengan cahaya daripada hanya meraba dalam gelap," jelasnya.


Aku tersinggung, tapi itu juga ada benarnya. Sisi sebelah kanan tembok mulai menghilang. Aku melihat orang itu, ia sedanga sibuk membuat lelucon yang entah untuk apa. Berusaha membuat aku tersenyumkah?


Suatu hari, kita tak lagi bisa mengobrol seperti biasa. Keberadaannya tidak lagi membuatku merasa nyaman. Tembok yang kemarin roboh dan menghilang, kini mulai tersusun kembali. Door Slam. Terima kasih sudah berusaha, dan selamat tinggal. Jendela itu mulai kututup kembali dengan kain. 


Tidak ada lagi cahaya. Semua menjadi gelap. Tak apa. Setidaknya aku merasa aman di sini. Di balik tembok kokoh ini. 

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer