Mimpi di Balik Sunyi

Karya Syarifah Rahmah


Di bawah langit jingga, aku duduk di rerumputan sambil menghadap ke padang ilalang yang mulai menguning. Aku memejamkan mata menikmati alunan musik alam yang menentramkan. Ladang ilalang di belakang rumah memang menjadi tempat favoritku. Walaupun, kadang aku sedikit dibuat kesal dengan munculnya kerumunan nyamuk yang mengganggu. Hal yang juga membingungkanku  tentang orang-orang penikmat senja. Bagaimana mereka bisa merasa baik-baik saja, padahal banyak hal yang mengganggunya. Kudapati jawaban mereka hampir sama. “Tak ada yang lebih menyakitkan dari rindu yang tak kunjung ada temu.”

"Rin!" panggil seseorang. Aku menoleh ke arah ponsel yang aku letakkan di sebelahku. Aku baru sadar, kalau aku masih berteleponan dengan Fina, sahabatku. Berbeda dari persahabatan pada umumnya yang selalu bareng dan banyak kesamaan. Kami selalu punya jalan yang berbeda. Misalnya saja jurusan kuliah. Aku baru saja lulus dari jurusan Kimia, sedangkan Fina menyandang gelar sarjana Hukum. Selama di kampus, Fina juga seorang aktivis. Berbeda denganku yang lebih suka menyendiri di kamar indekos. Entah apa yang membuat kami bisa bersahabat sampai sekarang. Terkadang perbedaan yang saling melengkapi memang bisa membuat pertemanan itu menjadi abadi.

"Kenapa, Fin?" tanyaku sambil memandang langit dan matahari yang hampir tenggelam.

"Rencanamu apa setelah lulus kuliah ini?" tanya Fina.

"Belum tau," jawabku singkat, karena memang itulah kenyataannya.

Kudengar Fina menghembuskan napas berat. "Aku juga sama, belum tau mau ngapain. Apa lagi, setelah dapat gelar sarjana. Menganggur itu sering jadi tanda tanya besar untuk orang sekitar. Ah, aku muak. Emangnya gampang apa nyari pekerjaan di masa pandemi kayak gini."

"Ya, udah. Tutup telinga saja." Aku memang cuek dengan omongan negatif orang-orang yang menurutku tidak selalu penting.

"Pinginnya sih gitu, tapi aku nggak bisa secuek kamu."

Aku mengambil rumput yang agak panjang lalu memutus-mutuskannya. "Di masa pandemi ini kita memang akan selalu ditinggalkan, akan selalu diminta sendirian."

"Rina Hayani, jangan ngehalu deh! Beda topik lagi itu," sindir Fina sedikit tertawa.

"Ya, maksud aku, karena kita gak bisa membuat semua orang suka sama kita, dan kita juga gak bisa memenuhi ekspetasi setiap orang. Jadi, memang wajar akan selalu ada yang memilih pergi. Dan pada akhirnya, kita akan selalu diminta sendiri."

"Apa hubungannya sama pandemi?"

"Sendiri."

"Hah?"

ALLAHU AKBAR, ALLAHU AKBAR.

"Udah azan, nanti aku hubungin lagi, ya, bye, Assalamu'alaikum."

Sebelum Fina sempat protes, aku sudah mematikan sambungan telepon. Aku hanya tertawa sambil membayangkan wajah Fina yang pasti sangat kesal, karena dia paling tidak suka kata-kata yang menggantung. 
Aku berdiri, lalu menepuk-nepuk rokku untuk membersihkannya dari bekas tanah dan rumput yang menempel. “Seharusnya tadi aku bawa tikar,” gerutuku.

Tepat pukul sembilan malam, aku sudah berkumpul bersama keluarga di depan meja makan. Walaupun, makanan akan kami makan bukan makanan mewah, hanya makanan sederhana, namun cukup membuat kami bahagia. Kami mulai menyantap makanan tersebut sambil sesekali bercerita tentang hal-hal random.
 
"Pah, bapa bangga nggak sama Rina?" tanyaku sedikit ragu.

"Bangga dong. Putri Bapa kan udah jadi sarjana. Jelas bapa bangga," ucap lelaki yang berusia setengah abad itu sambil tersenyum tulus padaku. Aku pun ikut tersenyum, walaupun rasanya masih banyak hal yang belum bisa aku lakukan untuk orang tuaku. Termasuk untuk bapak.

Aku beranikan diri bertanya hal yang sama pada mamaku yang sedari tadi hanya diam menyantap nasi dan lauk terong goreng dengan sambal terasi. Ibuku memang orang yang sedikit pendiam. Mungkin pendiamku juga turunan dari mama. Tetapi kalau mama sudah berbicara, tidak kalah hebat dengan Miss Merry Riana.

“Pasti mama juga bangga sama Rina. Apalagi Rina sudah bisa menyelesaikan studi sarjana. Sebenarnya mama juga nggak akan menuntut banyak sama Rina harus bagaimana setelah lulus, tapi mama harap ilmu yang sudah Rina pelajari itu bisa disebarkan lagi ke orang lain. Bisa bermanfaat untuk negeri ini. Mama yakin Rina pasti bisa,” ujar Mama sambil menyuap nasi terakhir yang tersisa di piringnya.

Setelah makan malam, aku sedikit merenung di dalam kamar. Apa yang bisa aku lakukan? Batinku.

***

“Terima kasih atas partisipasi dan antusias teman-teman,” ucapku menutup seminar hari ini sambil tersenyum ke arah kamera. Walaupun masih secara online, ada rasa bahagia dalam hatiku. Apalagi setelah melihat wajah kedua orang tuaku yang juga tersenyum bahagia. Mereka juga mengikuti seminar launching buku keduaku hari ini. Hal yang tak pernah terlintas di dalam benakku akan menerbitkan buku. 

Sebenarnya banyak hal yang terjadi, sebelum akhirnya aku menerbitkan buku. Namun di balik proses panjang itu dan dukungan dari kedua orang tua. Tak lupa juga Fina yang setiap hari mau kutodong berbagai tulisan untuk dimintai pendapat. Semua akhirnya membuahkan hasil.

Sejak beberapa bulan yang lalu, Fina juga sudah mendapat pekerjaan menjadi jaksa dan juga aktif menjadi youtuber dengan ratusan ribu followers hanya dalam waktu beberapa bulan saja. Namun aku tidak begitu heran dengan itu. Fina memang punya tingkat kepercayaan diri yang baik untuk berbicara depan kamera sehingga banyak orang yang tertarik menonton youtube-nya. 

Kembali dengan aku dan impianku. Menjadi penulis adalah sebuah impian lama yang mungkin sudah terkubur sangat dalam, hingga tidak ada seorang pun yang tahu, bagai mimpi di balik sunyi. Namun setelah mendengar nasihat mama, aku mulai tersadar, cara terbaik untuk berbagi ilmu yang sudah dipelajari yaitu dengan menuliskannya. Sebuah harapan besar pun muncul, semoga dengan tulisanku dapat memberikan manfaat bagi negeri ini. 

Aku, Rina Hayani. Siap memperjuangkan mimpi besar untuk kebangkitan Islam dan Indonesia tercinta.  


















Komentar

Postingan Populer